JAKARTA - Kata-kata Good vs Sigma, Bad vs Skibidi, Keren vs Rizz, Cool vs Gucci, Delusional vs Delulu, Stealing vs Fanum Tax merupakan salah satu postingan TikTokers yang membandingkan perbedaan istilah yang biasa digunakan generasi milenial dengan generasi alpha.
Tidak dipungkiri ada pengaruh dari para influencer yang mempopulerkan istilah-istilah baru di media sosial. Persebaran tren bahasa slang cepat berkembang, termasuk dengan munculnya berbagai konten dengan judul “kamus bahasa slang” di media sosial dan media online.
Slang dalam bahasa Indonesia diterjemahkan sebagai bahasa gaul. Menurut Oxford English Dictionary, slang merupakan kata sebagai ekspresi yang digunakan oleh kelompok tertentu. Salah satunya, sebagai sarana membentuk perbedaan/eksklusivitas kelompok.
Dalam studi ilmu komunikasi, bahasa slang merupakan salah satu fenomena dari netspeak. Sarjana komunikasi Wahid dan Farooq (2022) mengungkapkan dalam artikel penelitiannya definisi netspeak sebagai ungkapan yang muncul dalam bahasa daring, dimana sebagian besar digunakan di media sosial.
Netspeak berkembang karena net-speaker yang merupakan pengguna media sosial menyebarluaskan istilah tertentu yang khas. Biasanya terjadi dalam komunikasi informal.
Tidak dipungkiri, tren penggunaan bahasa slang semakin berkembang saat ini beriringan dengan banyaknya pengguna TikTok di Indonesia. Menurut website World Population Review (2024) pengguna TikTok di Indonesia tahun 2024 mencapai 109,9 juta, dengan persentase penggunaan TikTok sebanyak 73,5% (Meltwater, 2024). Data ini tentu memperkuat argumen bahwa lazim jika generasi alpha menjadi generasi yang sangat familiar dengan TikTok.
Bahkan penggunaan bahasa slang membuat identitas generasi alpha semakin terasa di media sosial karena banyaknya konten yang membandingkan perbedaan antara generasi alpha dengan generasi milenial maupun baby boomer. Hal ini menunjukkan adanya jarak cara berkomunikasi antar generasi yang terbangun.